Kapan Pulang?
"Halo Diah, apa kabar?? Kapan pulang?"
"Hei Diah, gimana Jepang? Kapan pulang?"
"Waa lama banget disana di.. Kapan pulang?"
"Di.. jadinya kapan pulang? mau nitip sesuatu ni.."
"Kamu kapan pulang di?"
"Kapan pulang?"
"Kapan pulang?"
"Kapan pulang?"
Pertanyaan di atas memenuhi hari-hari saya mulai dari keberangkatan hingga saat ini. Entah maksudnya basa-basi atau memang ingin tahu atau lupa atau gimana, tapi pertanyaan "kapan pulang?" ini selalu ada. Sebelumnya, makasi lo udah ditanyain. Gimanapun itu tandanya masi ada yang berharap saya balik ke Indonesia (atau sebaliknya ya?). Haha
Tapi belakangan, saya jadi lebih sensitif sama pertanyaan ini. Awal-awal sih saya masih oke-oke aja berhubung waktu kepulangan yang emang masih lama. Tapi sejak detik-detik menginjakkan kaki di tanah air tercinta (saya cinta Indonesia lo walopun korupsinya tinggi, kriminalnya merajalela, panesnya ndak ujubilah, macet dimana-mana, sampah bertebaran, bla bla blaa), kuping saya jadi agak-agak sensitif.
"Kenapa?"
Bukanya apa-apa, saya cuma ga siap menghadapi kejamnya dunia nyata. Jepang terlalu nyaman dan memabukkan. Okelah, mungkin karena status saya yang cuma "pelajar bayaran". Bayangin, cukup dengan kuliah beberapa kali dalam seminggu, mata kuliahnya asik dan dosennya yahud, bisa bangun siang, sesekali diajakin fieldtrip dengan bejibun makanan enak, saya dikasi duit pula. Yah, enggak banyak sih untuk standar hidup orang di sini, tapi tapi tapiii itu udah cukup bagi saya yang notabene ga usah banting tulang (yaaaah, paling cuma akhir semester aja banting otak dikit #otakUdang).
Kalau dulu saya mudah galau bimbang dan risau gara-gara liat temen-temen yang skripsinya uda kelar, uda pendadaran, uda sarjana, sementara saya bab 2 aja belum beres, maka sekarang saya bimbang gulana karena mesti pulang.
Saya mesti kembali menghadapi kejamnya dunia #lebay. Beneran lo ini, saya ga siap, secara finansial dan emosional. Balik ke Indo artinya saya masih harus minta duit lagi ke ortu. Nyaaak, udah 21 taun nyaaak, masi aja minta duit. Balik ke Indo, berarti saya balik lagi ke cuci baju sendiri (atau bawa ke londri), kamar yang ga high tech, motor dan jalanan yang panas, dan segala tetek bengeknya. BUSEEET! Manja amat kamu, Diah??!!
Hehe, bukan ding. Sebenernya faktor-faktor tadi ga terlalu masalah buat saya. Yang masalah adalah balik ke Indo artinya saya harus dan kudu balik lagi ke tanggung jawab yang udah setaun ini saya abaikan, yang tak lain tak bukan adalah SKRIPSI. Bahaha balik maning balik maning. Hulu dari segala risalah saya tetep aja tentang syarat akhir kelulusan itu.
"Jadi, kapan pulang?"
AAAARRRRRRRRRRRRRGGGGGGGGGGGGGGGHHHHHHHHHH
"Hei Diah, gimana Jepang? Kapan pulang?"
"Waa lama banget disana di.. Kapan pulang?"
"Di.. jadinya kapan pulang? mau nitip sesuatu ni.."
"Kamu kapan pulang di?"
"Kapan pulang?"
"Kapan pulang?"
"Kapan pulang?"
Pertanyaan di atas memenuhi hari-hari saya mulai dari keberangkatan hingga saat ini. Entah maksudnya basa-basi atau memang ingin tahu atau lupa atau gimana, tapi pertanyaan "kapan pulang?" ini selalu ada. Sebelumnya, makasi lo udah ditanyain. Gimanapun itu tandanya masi ada yang berharap saya balik ke Indonesia (atau sebaliknya ya?). Haha
Tapi belakangan, saya jadi lebih sensitif sama pertanyaan ini. Awal-awal sih saya masih oke-oke aja berhubung waktu kepulangan yang emang masih lama. Tapi sejak detik-detik menginjakkan kaki di tanah air tercinta (saya cinta Indonesia lo walopun korupsinya tinggi, kriminalnya merajalela, panesnya ndak ujubilah, macet dimana-mana, sampah bertebaran, bla bla blaa), kuping saya jadi agak-agak sensitif.
"Kenapa?"
Bukanya apa-apa, saya cuma ga siap menghadapi kejamnya dunia nyata. Jepang terlalu nyaman dan memabukkan. Okelah, mungkin karena status saya yang cuma "pelajar bayaran". Bayangin, cukup dengan kuliah beberapa kali dalam seminggu, mata kuliahnya asik dan dosennya yahud, bisa bangun siang, sesekali diajakin fieldtrip dengan bejibun makanan enak, saya dikasi duit pula. Yah, enggak banyak sih untuk standar hidup orang di sini, tapi tapi tapiii itu udah cukup bagi saya yang notabene ga usah banting tulang (yaaaah, paling cuma akhir semester aja banting otak dikit #otakUdang).
Kalau dulu saya mudah galau bimbang dan risau gara-gara liat temen-temen yang skripsinya uda kelar, uda pendadaran, uda sarjana, sementara saya bab 2 aja belum beres, maka sekarang saya bimbang gulana karena mesti pulang.
Saya mesti kembali menghadapi kejamnya dunia #lebay. Beneran lo ini, saya ga siap, secara finansial dan emosional. Balik ke Indo artinya saya masih harus minta duit lagi ke ortu. Nyaaak, udah 21 taun nyaaak, masi aja minta duit. Balik ke Indo, berarti saya balik lagi ke cuci baju sendiri (atau bawa ke londri), kamar yang ga high tech, motor dan jalanan yang panas, dan segala tetek bengeknya. BUSEEET! Manja amat kamu, Diah??!!
Hehe, bukan ding. Sebenernya faktor-faktor tadi ga terlalu masalah buat saya. Yang masalah adalah balik ke Indo artinya saya harus dan kudu balik lagi ke tanggung jawab yang udah setaun ini saya abaikan, yang tak lain tak bukan adalah SKRIPSI. Bahaha balik maning balik maning. Hulu dari segala risalah saya tetep aja tentang syarat akhir kelulusan itu.
"Jadi, kapan pulang?"
AAAARRRRRRRRRRRRRGGGGGGGGGGGGGGGHHHHHHHHHH
ahhh, kita punya kegalauan yang sama mak..
BalasHapusjadi mak, kapan pulang? hahahaha