There’s always a privilege for those who (seems to) bring a car

Sepasang laki-laki dan perempuan maju menuju antrian paling depan. Sang kasir menyambut ramah. Senyum tersungging, dengan senang hati ia melayani. Ucapan terima kasih pun tidak lupa diucapkan. Di belakang pasangan necis itu, seorang ibu dan dua anak gadisnya maju. Wajah ramah penuh senyum itu menghilang. Bukannya penjelasan, malah jawaban ketus yang yang terlontar. Perlakuan seenaknya dan mimik bosan ketika sang ibu menanyakan apa beda pertunjukan 3 dimensi dan tidak. Kenapa dia berubah secepat itu? Padahal si ibu membeli 3 tiket yang masing-masing harganya Rp 50.000, sementara pasangan tadi hanya membeli tiket yang harganya Rp 25.000. Padahal si ibu menonton untuk memenuhi keinginan anaknya, supaya dua gadis kecil itu tahu rasanya menonton gambar yang seakan keluar dari layar dengan kacamata plastik. Sementara pasangan tadi (mungkin) menonton hanya karena tidak ada kerjaan atau supaya tidak ketinggilan tren.

Oh.. rupanya karena si ibu hanya menggunakan kaos mulur dan jaket jeans yang sudah luntur, sementara pasangan sebelumnya menggunakan baju bermerek dengan model paling kini. Oh.. rupanya karena si ibu hanya membawa gorengan di tangan (yang biasanya langsung dihadang oleh satpam), sementara pasangan sebelumnya membawa popcorn besar dan minuman soda. Oh.. rupanya karena si ibu medok jawa dan berkulit coklat juga kelihatan seperti orang tidak berpunya, sementara pasangan tadi..

Ah, sudahlah. Jiwa kolonialisme nyatanya memang masih kental di Indonesia.




Pelayanan macam kolonial begitu bahkan masih bisa ditemui di bandara internasional sekalipun. Tarik telinga saya jika Anda tidak percaya. Saya yang orang pribumi ini dijudesinnya ampun-ampunan, koper dibuka dan diperiksa dengan kasar. Aneh, saya yang orang Indonesia diperlakukan dengan kasar oleh saudara saya sendiri di tanah kelahiran saya sendiri. Sementara di samping saya, terlihat seorang ekspatriat yang dilayani dengan super ramah. Okelah, saya membeli tiket ekonomi, dan dia tiket bisnis. Di jidatnya tertulis tabungannya yang angka 0 nya mencapai berdijit-dijit, sementara di jidat saya cuma terlihat lembar buku tabungan yang masih kosong melompong.



Ah tapi..,saya tidak mau terlalu menyalahkan mereka. Karena mungkin, kalau ada di posisi mereka, saya pun akan berbuat hal yang sama.



Untuk ibu-ibu yang dijutekin tadi, sabar aja ya bu. Anak-anakmu memang masih begini. Picik dan belum banyak belajar. Kami masih perlu bimbingan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

A Journey to be a Star (Danone Management Trainee Recruitment Phase)

My Chevening Journey

Perpisahan Kelas Bahasa Jepang