RABIES

Lagi-lagi saya membantu si ibu buat tugas kuliah. Kali ini temanya tentang "penyakit akibat gigitan hewan" dilihat dari segi klinis dan epidemiologisnya.
#JEDOR! Jangankan kepikiran mau nulis apa, dua kata "klinis" dan "epidemiologis" aja saya ga paham betul artinya. Setelah menimbang-nimbang, rabies saya pilih sebagai bahasan utama. Dalam waktu dua hari, saya obrak-abrik internet dan jadilah tulisan yang sama sekali gak mutu ini.

Maklum, jaman SMA dulu, saya benci banget sama pelajaran Biologi yang berujung pada nilai pas-pas-an di raport. Sambil buat tulisan ini, dalam hati saya semakin bersyukur saya dulu ga milih jurusan IPA. Hingga saat ini, Dia telah membimbing saya pada jalan yang benar. =P

Meskipun tulisan ini blas ga mutu, tapi daripada cuma nongkrong di laptop, mending saya publikasikan. Siapa tahu, ada yang baca dan lumayanlah jadi tambahan pengetahuan. Selamat menyimak =D


Pendahuluan
Tahun 2008, Indonesia dikejutkan dengan ditemukannya laporan mengenai kasus kematian akibat gigitan anjing yang ditenggarai disebabkan oleh Rabies di Propinsi Bali. Kasus ini sontak mengejutkan banyak pihak mengingat Bali, sejak jaman Belanda, dikenal sebagai salah satu daerah yang bebas dari penyebaran rabies. Pada tahun yang sama, Kementrian Kesehatan Republik Indonesia mengumumkan bahwa Bali positif terjangkit rabies. Hingga 2011, lebih dari 100 orang meninggal akibat penyakit yang menular melalui gigitan hewan ini. Sebelum Bali, kasus rabies juga sempat menggemparkan masyarakat di Pulau Flores. Pada tahun 1998, paling sedikit 113 jiwa melayang di Flores akibat rabies. Sementara belakangan, kasus rabies juga ternyata ditemukan di Nias dan NTT.

Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (Office International Des Epizooties atau OIE) menyebutkan bahwa rabies telah menyebabkan kematian hampir 55.000 orang per tahun di seluruh dunia. Jumlah ini artinya satu orang meninggal setiap sepuluh menit akibat rabies. Sembilan puluh sembilan persen disebabkan akibat gigitan oleh anjing yang terinfeksi dan lebih banyak menyebabkan kematian di negara berkembang. Di Asia Tenggara sendiri, 1,4 juta orang berisiko terjangkit rabies, dengan 23.000-25.000 orang meninggal setiap tahunnya, dan bertanggung jawab atas 45% total kematian di dunia akibat rabies. Indonesia sendiri berada di peringkat kelima sebagai negara dengan jumlah kematian terbanyak akibat rabies di Asia.

Aspek Klinis
Menurut data WHO (World Health Organization), kasus rabies ditemukan di lebih dari 150 negara, dimana jumlah kasus meninggal paling banyak ditemukan di Asia dan Afrika. Sementara satu-satunya benua bebas rabies adalah Antartika. Setiap tahunnya, 15 juta orang mendapat suntikan anti rabies yang diperkirakan menekan angka kematian sebanyak 327000 kasus.

Rabies merupakan penyakit zoonis atau jenis penyakit yang ditransmisikan kepada manusia melalui hewan yang disebabkan oleh virus dalam keluarga Rhabdoviridae dan genus Lyssavirus. Terdapat dua jenis virus rabies, yakni sylvian dan urban. Penyebaran pada manusia disebabkan oleh kontak intim, yakni melalui gigitan ataupun luka cakar. Penularan rabies juga dicurigai dapat terjadi melalui udara yang terkontamitasi. Kasus rabies di Asia dan Afrika mayoritas disebabkan oleh gigitan anjing, sementara kasus Amerika dan Eropa lebih banyak disebabkan oleh kelelawar. Beberapa kasus kematian, meskipun jumlahnya minimal, juga diduga ditransmisikan oleh rubah, rakun, sigung, dan hewan karnivora lainnya.

Gejala
Masa inkubasi rabies biasanya berlangsung selama 1-3 bulan, namun juga dapat bervariasi antara <1 minggu hingga >1 tahun. Gejala tipikal rabies adalah penderita mengeluh pusing atau sakit kepala yang disertai dengan rasa sakit, kesemutan, atau sensasi terbakar di daerah bekas gigitan.

Virus kemudian akan menyebar melalui sistem saraf pusat dan menyebabkan peradangan fatal pada otak dan sumsum tulang belakang. Pasien kemudian akan menunjukkan gelaja lanjutan, seperti tidak bisa diam, insomnia, sensitivitas berlebih terhadap cahaya dan bunyi, dan kesulitan menelan. Pasien juga akan mengalami kejang dan sakit yang luar biasa saat menelan makanan, sehingga beberapa pasien rabies juga mengalami ketakutan berlebih terhadap air. Kematian terjadi akibat gagal pernafasan dan biasanya tidak terhindarkan antara 2 hingga 10 hari setelah gejala mulai tampak.

Selain gejala di atas, 30% dari total jumlah kasus rabies juga mengakibatkan kelumpuhan pada orang yang terinfeksi. Gejala ini biasanya disertai dengan perkembangan penyakit yang lebih lambat daripada gejala pertama. Otot secara perlahan mulai lumpuh, diawali dari lokasi bekas gigitan, yang perlahan-lahan membuat koma pasien, hingga akhirnya meninggal.

Perawatan
Pasca tergigit hewan yang terindikasi membawa virus rabies, perawatan dianjurkan untuk diaplikasikan secepatnya. Pertolongan pertama dapat berupa perawatan pada luka serta vaksinasi jika diperlukan. Luka akibat gigitan sebaiknya dicuci dengan air mengalir selama minimal 15 menit dengan menggunakan sabun dan detergen yang mengandung idodine atau senyawa lain yang dapat membunuh virus. Namun perawatan ini tidak akan efektif ketika gejala mulai berkembang, sehingga harus dilakukan sesegera mungkin.

Vaksin rabies untuk manusia pertama kali dikembangkan di India pada tahun 1911 oleh Sir David Semple. Vaksin serupa, yang menggunakan jaringan saraf hewan, kemudian mulai dikembangkan di Indonesia dan Thailand, baik sebagai antisipasi maupun reaksi pasca gigitan. WHO kemudian meyakinkan negara-negara Asia untuk menghentikan produksi vaksin secara bertahap. Kini, hanya India yang tetap memproduksi vaksin, dengan metode yang berbeda dan lebih modern. India memproduksi lebih dari 15 juta vaksin rabies setiap tahunnya.

Pencegahan
Untuk mencegah penularan rabies, ada beberapa cara yang dapat ditempuh. Pertama, menghilangkan rabies pada anjing. Rabies merupakan penyakit yang dapat dicegah dengan vaksin. Pemberian vaksin pada hewan akan mengurangi risiko terjangkit rabies dan transmisi pada manusia. Langkah ini juga tergolong realistis dan lebih hemat secara biaya, sehingga menjadi tujuan utama di Afrika dan Asia. Kedua, pemberian vaksin pada manusia. Pemberian vaksin untuk orang yang tinggal atau akan berpergian ke area kontaminasi rabies tentu dapat mengurangi risiko penularan. Ketiga, domestifikasi hewan dan minimalisasi hewan liar. Jumlah anjing liar yang tinggi di Indonesia merupakan salah satu faktor mudahnya transfer virus rabies.

Namun usaha pencegahan rabies di negara Asia masih terganjal beberapa faktor. Pertama, kurangnya sistem surveilans. Rabies tidak tergolong penyakit yang menjadi prioritas utama sehingga kesadaran akan bahaya rabies masih kurang dan baru muncul ketika penyakit ini telah memakan korban. Kedua, akses terbatas atas vaksin modern. Mahalnya harga vaksin tentu tidak menguntungkan negara berkembang yang masih mengimpor vaksin dengan pajak yang luar biasa tinggi. Tingginya angka kematian pada kasus rabies di Bali tidak hanya disebabkan oleh kurangnya kesadaran masyarakat, melainkan juga ketiadaan akses terhadap vaksin. Ketiga, kuragnya kesadaran masyarakat. Rendahnya edukasi kesehatan berakibat pada rendahan kesadaran masyarakat dalam program kontrol rabies. Keempat, kurangnya komitmen politik. Di negara-negara berkembang, program kontrol rabies menduduki prioritas sangat rendah jika dibanding dengan program peningkatan ekonomi. Tidak adanya anggaran khusus, baik untuk kampanye pendidikan kesehatan maupun epidemi tidak terduga, tentu akan menyulitkan ketika rabies tiba-tiba merebak.


Epidemiologi
Rabies merupakan penyakit kuno yang penyebarannya telah dituliskan dalam sejarah Mesir kuno pada kisaran tahun 2300 sebelum masehi. Meskipun begitu, beberapa sumber menyebutkan rabies bahkan telah dikenal sejak lebih dari 4300 tahun yang lalu. Rabies berasal dari kata “rabha” yang berarti kejahatan.

Meskipun beberapa sumber menyebutkan rabies telah dikenal sejak ribuan tahun sebelum masehi, namun tidak terdapat catatan pasti dimana rabies pertama kali menjangkit manusia. Di Asia, China merupakan negara pertama tempat ditemukannya virus rabies, yakni sekitar tahun 1930. Sementara di Afrika, rabies telah diketahui sejak tahun 1912 dan pertama kali muncul di Kenya. Di Amerika, rabies dikenal pada pertengahan tahun 1980-an, dimana kasus rabies pertama kali dicurigai terjadi di Mexico. Sementara di Eropa, rabies telah menjangkiti manusia sejak tahun 1946 ketika seekor rubah diketahui terjangkit rabies di Jerman. Kini, rabies diketahui telah menyebar di seluruh dunia. Berdasarkan data WHO, Asia merupakan benua dengan tingkat rabies tertinggi dengan jumlah kematian setengah dari total jumlah kematian per tahun akibat rabies di dunia.

Bangladesh menempati urutan pertama dengan jumlah kasus 14 setiap 1000 orang, diikuti oleh Bhutan, Korea Utara, dan India. Indonesia sendiri menempati urutan kelima dengan jumlah kasus 4,5 setiap 1000 orang. Penyebaran kasus rabies pada manusia di Asia diketahui paling banyak terjadi melalui gigitan anjing.

Selain Asia, penyebaran rabies di dunia dapat dikatakan merata. Hanya beberapa negara, seperti Inggris, Irlandia, Swedia, Norwegia, Jepang, Australia, Selandia Baru, dan Singapore yang dinyatakan bebas rabies. Menurut WHO, sebuah negara dinyatakan bebas rabies ketika tidak terdapat kasus hewan atau manusia terjangkit rabies selama dua tahun terakhir. Beberapa pulau di Indonesia sendiri sebenarnya sudah dinyatakan bebas rabies, termasuk Bali, hingga kasus ini muncul pada tahun 2008.

Transmisi
Virus rabies sejatinya berpindah antara mamalia, baik dalam spesies yang sama maupun berbeda, melalui infeksi saat terjadi gigitan hewan. Beberapa kasus, meskipun jarang, dilaporkan terjadi karena adanya transplantasi organ, seperti pankreas dan hati. Rabies juga diketahui dapat berpindah karena menelan daging atau bagian hewan yang terkontaminasi. Terdapat spekulasi bahwa rabies juga dapat menjangkiti manusia jika meminum susu dari hewan yang membawa virus rabies. Pusat kontrol penyakit dan pencegahan (CDC) di Amerika Serikat mencurigai terdapat 2 kasus rabies yang terjadi karena meminum susu yang dihasilkan oleh domba yang terjangkit rabies.

Lingkar Epidemiologi
Rabies memiliki dua lingkar epidemiologi, yakni urban dan sylvatic. Dalam lingkar urban, anjing merupakan penyebar utama rabies. Kasus ini paling banyak ditemukan di Afrika, Asia, serta Amerika Selatan dan Tengah, dimana tingginya angka anjing liar yang tidak memiliki pemilik. Lingkar ini telah diputus di Amerika Utara dan Eropa, meskipun beberapa kasus kecil masih terjadi karena anjing diinfeksi oleh binatang liar. Namun lingkar urban ini telah putus dan tidak ditemukan pada populasi anjing disana.

Lingkar kedua adalah sylvatic (hewan liar) yang menjadi penyebab dominan dari kasus rabies di Eropa dan Amerika Utara. Lingkar ini tergolong kompleks karena faktor yang mempengaruhinya termasuk rantai virus, sifat alamiah spesies, dan faktor lingkungan. Dalam sebuah ekosistem, biasanya satu dari 3 hewan liar membawa virus rabies. Lingkar ini biasanya stabil atau cenderung lambat penyebarannya. Contohnya adalah rabies oleh srigala yang bergerak dengan lambat di Eropa barat dan rabies rakun yang mengancam pantai utara Amerika dan bergerak menuju Kanada.

Orang dengan Risiko Rabies
Di antara korban rabies, anak-anak merupakan golongan paling berisiko terjangkit rabies. Menurut data, anak-anak berusia 5 hingga 15 tahun merupakan korban terbanyak kasus rabies akibat gigitan anjing. Banyak kasus yang terjadi pada anak-anak juga tidak dilaporkan atau diberitakan. Kasus kematian juga sering terjadi karena orang tua yang tidak menyadari bahaya rabies sehingga anak-anak tidak mendapat perawatan pasca gigitan. Kasus kematian akibat rabies pada anak-anak mencapai 40% dari total jumlah kematian. Sementara sisanya, adalah orang-orang yang tinggal maupun sedang berkunjung di daerah yang terjangkit rabies, dokter serta petugas penangkap hewan yang dicurigai rabies.

Kesimpulan
Rabies merupakan penyakit kuno yang catatan keberadaannya telah diketahui sejak 4300 tahun Sebelum Masehi. Penyakit ini telah menyebar ke seluruh dunia dan merenggut lebih dari 50.000 jiwa setiap tahunnya. Sayangnya, dengan kasus yang tergolong cukup tinggi di Asia, beberapa negara belum menempatkan rabies sebagai isu yang serius dan memerlukan prioritas. Indonesia sendiri cukup dikejutkan dengan rabies yang belakangan muncul di Bali yang selama ini dikenal sebagai wilayah bebas rabies. Hingga 2011, lebih dari 100 jiwa melayang. Faktor berupa kurangnya vaksin, rendahnya kesadaran masyarakat, serta populasi anjing liar yang tinggi merupakan hambatan dalam mengeliminasi rabies. Penanganan lebih lanjut dan kerjasama banyak pihak tentu sangat diperlukan untuk mengembalikan status bebas rabies pada propinsi Bali dan propinsi lain di Indonesia.

Referensi:
Adedeji1, A. O. dkk. 2010. An overview of rabies - History, Epidemiology, Control
and Possible Elimination. African Journal of Microbiology Research Vol. 4(22) pp. 2327-2338, 18 November, 2010
Clifton, Merritt. 2010. How Not to Fight a Rabies Epidemic: a History in Bali. Asian Biomedicine Vol. 4 No. 2010;
Dedmon, Robert E. 2008. Mad dogs and Englishmen. Asian Biomedicine Vol. 2 No. 1 February 2008;27-34
Windiyaningsih, Caecilia. dkk. 2004. The Rabies Epidemic on Flores Island, Indonesia (1998-2003). J Med Assoc Thai Vol. 87 No.11 2004

Website
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs099/en/ diakses pada 17 November 2011

Komentar

Postingan populer dari blog ini

A Journey to be a Star (Danone Management Trainee Recruitment Phase)

My Chevening Journey

Perpisahan Kelas Bahasa Jepang