Percy Jackson and The Lightning Thief (review)



Menonton film ini rasanya bagai menonton film remaja setengah matang. Memasuki ruangan bioskop, saya memang tidak berharap terlalu banyak pada film besutan Chris Columbus ini. Selain saya sudah menonton hasil karyanya sebelumnya (Harry Potter 2), saya rasa cerita dan karakter di dalamnya juga standar. Tapi tentu saja saya berharap setidaknya saya mendapat hiburan ketika membayar sejumlah uang untuk menyaksikan film ini. Apalagi jumlah penonton yang membanjir membuat harapan saya melayang. Siapa tahu, dugaan dan prasangka saya tentang film ini salah.

Intinya, Percy Jackson and The Lightning Thief berkisah tentang demigod, sebutan untuk anak hasil pernikahan dari dewa/dewi yunani dengan manusia bumi. Agar sang dewa tidak kehilangan sifat kedewaanya, mereka dilarang bertemu dengan anak mereka setelah mereka dilahirkan (so what is the essential of making a baby then?). Salah satu anak tersebut adalah Percy Jackson, keturunan Dewa Poseidon yang memiliki kekuatan sebagai penguasa air. Masalah muncul ketika Percy dituduh mencuri tongkat petir Dewa Zeus dan diberi tenggat waktu untuk mengembalikannya. Percy yang semula tidak tahu apa-apa terpaksa harus menjalani kamp pelatihan para demigod dan berpetualang bersama anak Dewi Athena dan Satyr untuk mencari tahu kebenaran dan membebaskan ibunya yang diculik.

Sayangnya harapan saya terhadap film ini sia-sia. Saya malahan disajikan dengan sekelompok anak muda dengan kemampuan akting yang kurang dan alur cerita yang anti klimaks. Beberapa humor yang dihadirkan dalam film ini memang lumayan menghibur, tapi saya sangat kecewa ketika film harus berakhir tanpa klimaks yang jelas. Sedikit spoiler, Percy berhasil menjalankan tugasnya dengan mudah.

* Cerita : Rasanya terlalu dini jika saya menghakimi bahwa Percy Jackson tidak memiliki kekuatan cerita. Pasalnya, saya belum membaca versi novelnya (dan mungkin tidak akan pernah..:D). Tapi berhubung saya sedang mereview film, maka saya akan mencoba melihat dari sudut pandang penikmat film saja.
Overall, kisah yang ditawarkan oleh film ini tidak lebih dari Just Another Hollywood Teenager Story. Mudah ditebak dan tidak memerlukan kemampuan berfikir. All you have to do is just sit and eat your popcorn. Dengan beberapa sisipan humor, film ini memang tampaknya ditujukan untuk mereka yang kingin menonton film ringan remaja. Beberapa adegan bahkan terlihat sangat artifisial dan cerita yang berjalan anti klimaks merupakan kelemahan utama film ini. Segalanya begitu mudah dimulai dan begitu mudah diakhiri.

* Akting : Tidak lebih bagus dari akting aktor dan aktris remaja di Indonesia. Entah kenapa sang sutradara membiarkan para talentnya beradu akting seperti seorang pemula.

* Special Effect : Untuk urusan yang satu ini, saya memang tidak mengerti benar. Tapi waktu menonton kemarin, kekecewaan saya semakin bertambah karena setting dan latar film yang terlihat begitu artificial. Saya benar-benar merasakan "kebohongan" di balik gambar pepohonan, awan, atau apapun dalam film tersebut.

* Pesan : Saya tidak menemukan pesan khusus yang ingin dituangkan melalui film ini, selain kasih sayang orang tua yang tiada batasnya. Ibu Percy rela menikahi lelaki bau, kotor, dan pemabuk demi menyelamatkan Percy dari kejaran orang-orang yang tidak menyukainya. Tapi yang justru menimbulkan tanda tanya adalah esensi dari dewa yang boleh menghamili manusia, tapi tidak boleh melihat anaknya agar sifat kedewaannya tidak hilang. Don't you think hook up with a woman will also loe you goddies thingy?


Selebihnya, saya hanya bisa bilang kalau film ini lebih tepat ditonton di rumah, dengan segenggam kentang goreng, soda, dan buku untuk selingan kala anda merasa bosan.
no offense..:D

Komentar

Postingan populer dari blog ini

A Journey to be a Star (Danone Management Trainee Recruitment Phase)

My Chevening Journey

Perpisahan Kelas Bahasa Jepang